Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly

Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly

Budi juga menyinggung bagaimana Tempo dan media lainnya pernah ditutup pada tahun 1994 karena pemberitaan yang dianggap mencederai kepercayaan publik terhadap pemerintah. Namun berkat tekanan dari mahasiswa dan masyarakat sipil, Tempo akhirnya kembali terbit pada 1998. Dalam refleksinya terhadap pemerintahan saat ini, Budi menilai bahwa kebutuhan akan pers yang bebas semakin mendesak, mengingat pemerintahan yang terbentuk saat ini berangkat dari proses politik yang menyakiti konstitusi, sehingga peran media sebagai pengawas kekuasaan menjadi sangat penting.

Ia juga mengungkapkan bahwa ruang-ruang publik untuk menyuarakan pandangan berbeda dalam pembentukan kebijakan semakin menyempit. Hal itu, menurutnya, terlihat dari merapatnya PDIP ke lingkaran kekuasaan dan penggunaan platform oleh negara untuk membungkam kritik, salah satunya dengan mendegradasi suara-suara oposisi, sebagaimana yang terjadi saat isu Taliban KPK mencuat pada 2019.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, Budi menyoroti kasus Nazaruddin di era Presiden SBY, yang mengkorupsi proyek laboratorium kesehatan dan sektor pendidikan. Tempo, menurutnya, turut andil mengungkap berbagai pelanggaran tersebut sebagai bagian dari komitmennya terhadap kebenaran dan keadilan. “Ruang redaksi harus diberikan kebebasan penuh untuk menentukan arah dan kebijakan editorialnya. Apalagi di tengah tantangan ekonomi dan tekanan politik yang makin kuat. Beruntung, di Tempo kami tetap menjaga nilai-nilai idealisme jurnalisme” tegas Budi.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyoroti kondisi perekonomian Indonesia yang tengah menghadapi tekanan berat, baik dari faktor eksternal maupun dinamika internal, meskipun pemerintah telah berupaya menjaga stabilitas. Menurut Wijayanto, perekonomian fiskal tahun ini mengalami tekanan signifikan, tercermin dari penurunan sebesar 16,7% pada kuartal pertama dibandingkan periode yang sama tahun lalu. “Penurunan ini menunjukkan tantangan fiskal yang nyata, terlebih dengan hilangnya pemasukan dari dividen BUMN yang dialihkan ke Lembaga Pengelola Investasi (Indonesia Investment Authority)” ujarnya.

Di sisi pengeluaran, target memang telah tercapai, namun ia mengingatkan agar pemerintah tetap berhati-hati karena masih banyak program yang belum dijalankan secara optimal. Wijayanto juga menyoroti dinamika nilai tukar rupiah yang mengalami pelemahan terhadap mayoritas mata uang dunia. “Kita cenderung lupa bahwa dolar AS sedang menurun secara global. Tapi rupiah justru melemah terhadap 78% mata uang dunia dalam satu bulan terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan Indonesia dalam mengelola utang sudah berkembang, namun tetap harus dicermati dengan seksama” katanya.

Selain itu, ia menilai Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi dini yang semakin diperparah oleh fenomena *economic financialization*, yang menyebabkan sistem ekonomi menjadi kurang efisien. "Ini membuat struktur ekonomi kita rapuh dan tidak mendukung pertumbuhan sektor riil" tambahnya.

Persoalan daya beli masyarakat juga menjadi isu krusial, terutama dengan meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilaporkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. “Jumlah anggota BPJS Ketenagakerjaan yang masuk kategori siap kerja sangat jauh dari harapan. Di sisi lain, outstanding pinjaman online (pinjol) meningkat dibandingkan tahun lalu, namun nilai tukar rupiah justru turun signifikan, terutama saat periode Lebaran” jelas Wijayanto.


Editor: Red

Terkait

Komentar

Terkini