Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly

Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly

Mahfud menyebut bahwa masalah utama yang dihadapi saat ini adalah korupsi, yang menurutnya merupakan extraordinary crime yang semakin menggurita, dengan jangkauan vertikal dan horizontal yang meluas hampir ke seluruh lembaga negara.  “Korupsi hari ini tidak hanya menyentuh aspek kelembagaan, tetapi telah menciptakan jejaring kekuasaan yang kompleks dan berbahaya, termasuk di dalam sistem peradilan” ujar Mahfud.

Ia menyoroti sejumlah kasus korupsi peradilan, termasuk kasus korupsi korporasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, di mana terdakwa yang seharusnya jelas bersalah justru dibebaskan dengan berbagai cara manipulatif. Dua pola yang diidentifikasi adalah penggunaan alat hukum onslag (menganggap perkara bukan pidana) serta vonis ringan yang sarat pemerasan.

Lebih lanjut, Mahfud memaparkan bahwa kasus ‘Pagar Laut’ menjadi contoh nyata lemahnya komitmen terhadap penegakan hukum. Meskipun indikasi korupsi sangat kuat, proses hukum justru menyasar pada pelaku kecil seperti lurah, sementara aktor utama yang diduga merupakan bagian dari jejaring oligarki tidak tersentuh. “Dalam kasus pagar laut, terjadi pemalsuan ratusan sertifikat tanah. Mustahil itu terjadi tanpa pejabat tinggi yang mengotorisasi. Tapi hanya satu lurah yang dijadikan tersangka dari 16 kelurahan” tegasnya.

Mahfud juga mengkritik pernyataan aparat kepolisian yang menyebut tidak ditemukan unsur korupsi dalam kasus tersebut, meskipun Kejaksaan Agung menyatakan sebaliknya. Ia menilai, polemik ini menunjukkan lemahnya koordinasi antar penegak hukum dan terbukanya ruang intervensi dari kelompok oligarki. Ia menyarankan agar Kejaksaan Agung mengambil alih penyelidikan kasus pagar laut tanpa perlu menunggu proses di kepolisian. Ia juga mendorong penggunaan mekanisme lintas lembaga, termasuk KPK dan pusat penanganan tindak pidana korupsi di kepolisian.

Mahfud mengapresiasi komitmen verbal Presiden Prabowo terhadap pemberantasan korupsi. Namun ia menekankan bahwa retorika tidak cukup tanpa tindakan konkret terhadap praktik korupsi yang melibatkan oligarki. “Pidato Presiden soal anti korupsi patut dihargai. Tapi jika berhadapan dengan oligarki, komitmen itu seringkali mandek. Kasus Pertamina adalah contohnya. Korupsi senilai hampir Rp 930 triliun tidak bergerak karena mafia minyak besar ada di belakangnya” pungkas Mahfud.

Direktur Tempo Media Group, Budi Setyarso, menegaskan bahwa tantangan terhadap kebebasan pers saat ini tidak hanya dapat dilihat dalam enam bulan masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, melainkan merupakan fenomena yang telah berlangsung selama beberapa waktu terakhir.

Menurutnya, semua penguasa pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak menghendaki pers yang benar-benar bebas karena merasa tidak nyaman ketika media menyuarakan realitas di lapangan secara jujur. Ia mengingatkan publik pada peristiwa Malari tahun 1974 di masa Presiden Soeharto, di mana 12 media dibredel karena memberitakan kerusuhan yang dianggap mengganggu stabilitas nasional. Bahkan situasi serupa terasa kembali terjadi saat ini. “Kebebasan pers tidak hanya diperjuangkan oleh insan pers, tapi juga oleh masyarakat sipil. Itu yang terjadi pada tahun 1998. Tanpa pers yang bebas, tidak akan ada pemerintahan yang baik (good governance)” ujarnya.


Editor: Red

Terkait

Komentar

Terkini